Baduy: Perjalanan Menuju Desa Adat
September 2014, gue sempat mengunjungi Baduy, salah satu suku di Provinsi Banten yang terkenal karena masih memegang teguh adat istiadatnya, sekaligus salah satu tempat yang dari dulu pppppengen banget gue kunjungi. Di perjalanan kali ini gue berangkat sama rombongan KSG UI lewat open trip yang mereka adain. Setelah briefing dan jogging minggu sebelumnya, akhirnya hari jumat kami berangkat dengan meeting point di Stasiun Pasar Senen.
Dari Stasiun Pasar Senen, perjalanan dimulai dengan naik kereta ke Rangkasbitung terus dilanjutin naik elf sewaan sampai ke Ciboleger. Pintu masuk ke Baduy dalam itu ada 2, lewat Ciboleger dan Cijahe. Waktu itu berdasarkan itinerary, rombongan kami bakal dateng lewat Ciboleger dan pulang lewat Cijahe, walaupun ternyata lebih banyak orang yang memilih lewat Cijahe karena jarak trekkingnya yang lebih deket.
Di Ciboleger setelah turun elf, sebelum masuk ke perkampungan Baduy Luar ada alfamart yang bisa dipakai kalo mau melengkapi logistik selama di Baduy. Oh! di tempat kami turun elf ini ada juga patung masyarakat baduy yang bertuliskan selamat datang di Ciboleger. Sebelum masuk, rombongan yang mau ke Baduy mesti ngurus perizinan gitu dulu deh di perkampungan Baduy Luar, setelah masalah perizinan selesai, kami dipertemukan dengan Misjah dan Ayah Mursyid, dua orang Baduy dalam yang akan menjadi guide rombongan kami selama di Baduy.
Hari pertama ini, rencananya kami bakal menginap di salah satu perkampungan Baduy Luar, gue lupa namanya apa, tapi dari tempat perizinan tadi, cuma butuh waktu sekitar 20 menit buat sampai di perkampungan Baduy Luar ini. Perkampungannya gak terlalu besar, paling cuma sekitar belasan rumah,karena katanya ini perkampungan baru. Rombongan gue bakal dibagi nginep di 3 rumah, gue sendiri kebagian nginep di rumahnya Akang Mursyid, yang gak lain gak bukan adalah anaknya Ayah Mursyid. Iya, jadi kalo di baduy dalam tuh, kalo lo punya anak, lo bakal dipanggil dengan Ayah-Nama-Anak-Pertama-Lo.
Nah, Kang Mursyid ini baru sekitar dua tahun menikah, baru punya satu anak kecil endut nan chubby namanya Indra. Kang Mursyid ini dulunya masyarakat Baduy Dalam, tapi setelah nikah dia memilih buat jadi masyarakat Baduy Luar. Sorenya, gue dan temen-temen pengen ke kamar mandi untuk pipis dan bebersih badan, sekalian ngisi jerigen air kosong di rumah Kang Mursyid. jadilah kita ditunjukin MCK di kampung itu. Pertamanya, gue pikir itu semacam kayak bilik mandi di desa-desa yang dari bambu gitu, tapi pas sampe sana, gue speechless.
Jadi di sana itu, cuma ada bak dari batang pohon yang dibolongin tengahnya, terus selang yang ngalirin air, karena itu MCK nggak ada di sungai gitu, jadi cuma ditengah hutan, ada bak, ada selang, aliran kecil, sama biliknya cuma satu atau dua bagian gitu. Rombongan gue yang cewek awalnya bingung, gimana pipisnya karena itu riskan banget kan terus posisinya yang enak gimana biar airnya bisa ngalir jadi gak bau pesing wkwkwk. Setelah menemukan posisi dan formasi buat jagain takut-takut ada yang ngintip, akhirnya selesailah urusan per-MCK-an walaupun dengan segala ke cemasannya.
Malemnya, kami nyempetin untuk ngobrol-ngobrol sama Kang Mursyid tentang kepercayaan masyarakat Baduy sambil makan malam. Ternyata masyarakat Baduy itu, punya semacam tempat yang di sakralkan, tempatnya semacam bukit gitu yang dipercaya disitu ada semacam prasastinya. Tapi, gak sembarang orang boleh ke sana, cuma tetua-tetua adatnya aja. Selama di rumah Kang Mursyid juga, gue baru tau kalo Ayah Mursyid itu salah satu representatif penting suku Baduy Dalam lewat foto yang dipajang di dindimg rumah. Ayah Mursyid sering diundang ketemu Pak Presiden SBY, terutama pas lagi 17 Agustusan ke Istana Negara dan JALAN KAKI. Ohiya, Kang Mursyid juga biasa bikin gula aren, semacem gula merah yang didapet dari hasil nyadap getah pohon aren. Nanti pas udah jadi dibungkus sama daun aren.
"Misjah, masih jauh?" Tanya gue waktu mau ngelewatin sebuah tanjakan dengan tangga dari tanah yang cukup curam. "Sebentar lagi, satu bukit lagi" Kata Misjah di depan gue, entah udah keberapa kalinya dia ngomong satu bukit lagi sejak sejam yang lalu tapi daritadi belom sampe jugak. Perjalanan ke baduy dalam itu, sebenernya medannya gak terlalu ekstrim, lo emang bakal ngelewatin banyak tanjakan dan turunan dari tanah yang dibikin tangga gitu, atau beberapa ada yang dikasih batu buat pijakannya. Tapi menurut gue, yang bikin perjalanannya jadi kerasa capek banget itu ya terik mataharinya. Soalnya, sepanjang perjalanan emang bakal jarang ngelewatin hutan rindang. Mostly yang bakal dilewatin sepanjang trek menuju Baduy Dalam adalah ladang masyarakat Baduy, yang kebanyakan ditanamin sama padi gogo.
"Permisi ibu, boleh minta minumnya" Kata Misjah dalam bahasa baduy ke ibu pemilik gubuk yang kita singgahi sebentar buat istirahat dan minta minum karena persediaan minumnya hampir habis. Dikasihlah satu kendi tanah liat dan beberapa gelas dari bambu untuk minum, dan itu adalah pengalaman pertama gue minum pake kendi dan gelas bambu macem jaman kerajan dahulu kala, dan rasa airnya....adem, yang membuat gue menjadi bahagia.
Setelah itu kamipun melanjutkan perjalanan, beberapa kali di jalan rombongan gue ketemu sama masyarakat Baduy Dalam yang mau keluar bawa hasil bumi mereka, ada anak kecil bawa dua tandon pisang dipanggul sambil jalan kaki tanpa alas yang bikin gue dan rombongan melongo, gile anak sekecil itu bawa beban seberat itu, jalan sejauh ini, apalah kami manusia-manusia lemah hiks.
Sampe pada suatu tempat, perbatasan antara ladang sama vegetasi yang agak rindang, Misjah bilang ini batas ke Baduy Dalam, jadi mulai dari sini, kami udah gak boleh ngambil foto-foto lagi karena dilarang sama adat, jadilah semua kamera dan handphone dimasukan ke dalam tas. Soal mitos ini, senior gue sebelumnya pernah nyoba untuk ngambil foto di Baduy Dalam pake handphone, dapetlah mereka satu foto. Tapi setelah sampai di Jakarta, hasil fotonya malah rusak karena filenya gak bisa dibuka.
Drama perjalanan ke Baduy Dalam masih berlanjut, waktu melalui jalur yang agak licin berlumut., satu temen gue kepleset, terus jatuh duduk membentur batu. Akibatnya b*kongnya senut-senut kesakitan. Gue yang jalan agak belakang, langsung bergegas ke depan nawarin balsem otot yang gue bawa. Dipakelah balsem itu, setelahnya dia masih tetep jerit-jerit dong karena kepanasan make balsem -____- Untungnya itu gak berlangsung lama, setelah drama kepleset akhirnya dia bisa lanjutin perjalanan dengan normal lagi.
Setelah menempuh 4 jam perjalanan menuju Desa Adat. Akhirnya kami sampai juga di Desa Cibeo, salah satu dari 3 desa yang ada di Baduy Dalam. Dan ternyata, desanya kayak desa dengan suku kanibal yang ada di film-film thriller. Kalian bisa bayangin gak? Jangan sampe dibayangin deh, soalnya itu gue cuma bercanda...
To be continued.
Disclaimer: Semua foto di atas diambil oleh Naili
Dari Stasiun Pasar Senen, perjalanan dimulai dengan naik kereta ke Rangkasbitung terus dilanjutin naik elf sewaan sampai ke Ciboleger. Pintu masuk ke Baduy dalam itu ada 2, lewat Ciboleger dan Cijahe. Waktu itu berdasarkan itinerary, rombongan kami bakal dateng lewat Ciboleger dan pulang lewat Cijahe, walaupun ternyata lebih banyak orang yang memilih lewat Cijahe karena jarak trekkingnya yang lebih deket.
Di Ciboleger setelah turun elf, sebelum masuk ke perkampungan Baduy Luar ada alfamart yang bisa dipakai kalo mau melengkapi logistik selama di Baduy. Oh! di tempat kami turun elf ini ada juga patung masyarakat baduy yang bertuliskan selamat datang di Ciboleger. Sebelum masuk, rombongan yang mau ke Baduy mesti ngurus perizinan gitu dulu deh di perkampungan Baduy Luar, setelah masalah perizinan selesai, kami dipertemukan dengan Misjah dan Ayah Mursyid, dua orang Baduy dalam yang akan menjadi guide rombongan kami selama di Baduy.
Hari pertama ini, rencananya kami bakal menginap di salah satu perkampungan Baduy Luar, gue lupa namanya apa, tapi dari tempat perizinan tadi, cuma butuh waktu sekitar 20 menit buat sampai di perkampungan Baduy Luar ini. Perkampungannya gak terlalu besar, paling cuma sekitar belasan rumah,karena katanya ini perkampungan baru. Rombongan gue bakal dibagi nginep di 3 rumah, gue sendiri kebagian nginep di rumahnya Akang Mursyid, yang gak lain gak bukan adalah anaknya Ayah Mursyid. Iya, jadi kalo di baduy dalam tuh, kalo lo punya anak, lo bakal dipanggil dengan Ayah-Nama-Anak-Pertama-Lo.
![]() |
Kang Mursyid |
Jadi di sana itu, cuma ada bak dari batang pohon yang dibolongin tengahnya, terus selang yang ngalirin air, karena itu MCK nggak ada di sungai gitu, jadi cuma ditengah hutan, ada bak, ada selang, aliran kecil, sama biliknya cuma satu atau dua bagian gitu. Rombongan gue yang cewek awalnya bingung, gimana pipisnya karena itu riskan banget kan terus posisinya yang enak gimana biar airnya bisa ngalir jadi gak bau pesing wkwkwk. Setelah menemukan posisi dan formasi buat jagain takut-takut ada yang ngintip, akhirnya selesailah urusan per-MCK-an walaupun dengan segala ke cemasannya.
Malemnya, kami nyempetin untuk ngobrol-ngobrol sama Kang Mursyid tentang kepercayaan masyarakat Baduy sambil makan malam. Ternyata masyarakat Baduy itu, punya semacam tempat yang di sakralkan, tempatnya semacam bukit gitu yang dipercaya disitu ada semacam prasastinya. Tapi, gak sembarang orang boleh ke sana, cuma tetua-tetua adatnya aja. Selama di rumah Kang Mursyid juga, gue baru tau kalo Ayah Mursyid itu salah satu representatif penting suku Baduy Dalam lewat foto yang dipajang di dindimg rumah. Ayah Mursyid sering diundang ketemu Pak Presiden SBY, terutama pas lagi 17 Agustusan ke Istana Negara dan JALAN KAKI. Ohiya, Kang Mursyid juga biasa bikin gula aren, semacem gula merah yang didapet dari hasil nyadap getah pohon aren. Nanti pas udah jadi dibungkus sama daun aren.
![]() |
Perkampungan baduy luar yang kami lewati |
Besoknya, abis sarapan rombongan gue langsung siap-siap buat ngelanjutin perjalanan ke Baduy Dalam. Katanya, jalur ke Baduy Dalam itu sebenernya ada 3 jalur, yang paling cepet itu lewat tengah, tapi hari itu rombongan gue milih untuk lewat yang sebelah timur, karena mau nyoba jalur baru. Mulai dari sini, petualangan sebenarnya dimulai.
***
![]() |
Ladangnya begini cobaa, securam ini |
Terus, ladangnya bukan kayak ladang-ladang yang biasa di temuin di Jawa barat atau Jawa Tengah yang ada di tanah yang datar atau berterasering. Ladang-ladang masyarakat Baduy justru kebanyakan berada di lereng bukit yang curam. Dari awal perjalanan aja gue udah bingung, ini gimana nanem sama manennya coba, resikonya gede amat. Tapi ya emang gak punya pilihan lain sih, karena adat istiadat mereka kan emang gak memperbolehkan mereka untuk mengubah bentuk tanah tempat tinggalnya, gak boleh dipangkas dan gak boleh disambung.
***
"Permisi ibu, boleh minta minumnya" Kata Misjah dalam bahasa baduy ke ibu pemilik gubuk yang kita singgahi sebentar buat istirahat dan minta minum karena persediaan minumnya hampir habis. Dikasihlah satu kendi tanah liat dan beberapa gelas dari bambu untuk minum, dan itu adalah pengalaman pertama gue minum pake kendi dan gelas bambu macem jaman kerajan dahulu kala, dan rasa airnya....adem, yang membuat gue menjadi bahagia.
Setelah itu kamipun melanjutkan perjalanan, beberapa kali di jalan rombongan gue ketemu sama masyarakat Baduy Dalam yang mau keluar bawa hasil bumi mereka, ada anak kecil bawa dua tandon pisang dipanggul sambil jalan kaki tanpa alas yang bikin gue dan rombongan melongo, gile anak sekecil itu bawa beban seberat itu, jalan sejauh ini, apalah kami manusia-manusia lemah hiks.
![]() |
Bukan, perbatasannya bukan ini |
***
Drama perjalanan ke Baduy Dalam masih berlanjut, waktu melalui jalur yang agak licin berlumut., satu temen gue kepleset, terus jatuh duduk membentur batu. Akibatnya b*kongnya senut-senut kesakitan. Gue yang jalan agak belakang, langsung bergegas ke depan nawarin balsem otot yang gue bawa. Dipakelah balsem itu, setelahnya dia masih tetep jerit-jerit dong karena kepanasan make balsem -____- Untungnya itu gak berlangsung lama, setelah drama kepleset akhirnya dia bisa lanjutin perjalanan dengan normal lagi.
Setelah menempuh 4 jam perjalanan menuju Desa Adat. Akhirnya kami sampai juga di Desa Cibeo, salah satu dari 3 desa yang ada di Baduy Dalam. Dan ternyata, desanya kayak desa dengan suku kanibal yang ada di film-film thriller. Kalian bisa bayangin gak? Jangan sampe dibayangin deh, soalnya itu gue cuma bercanda...
To be continued.
Disclaimer: Semua foto di atas diambil oleh Naili
Komentar
Posting Komentar